Click here for Myspace Layouts

Tuesday 12 June 2012

BERTANGGUNG JAWAB DALAM KESEDERHANAAN

BERTANGGUNG JAWAB DALAM KESEDERHANAAN Bertanggung-jawab adalah salah satu wujud dari cinta dan kasih sayang Nabi kepada istri-istrinya. Tanggung-jawab beliau tercermin dari kesungguhan menjaga, merawat, mengayomi, mendidik, menafkahi, dan melindungi anggota keluarganya. Saat berumah-tangga dengan Khadijah, misalnya, Nabi tetap berdagang – meskipun kemudian Khadijah membebaskannya ketika perhatian Nabi mulai tercurah kepada masyarakat dan ummat. Nabi juga mengasuh dua anak tirinya, Hindun dan Halah, dengan penuh perhatian dan kasih sayang. Mereka pun tak menganggapnya sebagai bapak tiri serta tidak segan-segan memanggil Nabi dengan sebutan “ayah” atau “bapak”. Hal serupa ditunjukkan Rasul ke semua istrinya, termasuk kepada para janda lain yang dinikahi beliau dan anak-anak tirinya. Contoh lainnya, tatkala menikahi Ummu Salamah, Nabi merangkul semua putra-putri Ummu Salamah dan mereka hidup berkumpul dalam keluarga besar beliau. Semua mengenyam perhatian yang sama dari beliau, diperlakukan baik dan dibesarkan secara layak, diperkenalkan dengan hak dan kewajiban, serta dilimpahi cinta dan kasih sayang. Sejak pertama kali hijrah ke Madinah tanpa keluarga dan mulai menetap di sana, beliau mengutus seseorang untuk membawa keluarganya. Sesudah Masjid Nabawi berdiri, di samping masjid tersebut dibangun bilik-bilik rumah yang amat sangat sederhana. Saudah dan kedua putri Nabi, yang kemudian disusul beberapa istri beliau, tinggal di bilik-bilik sebelah masjid tersebut. Nabi juga menyediakan tempat sederhana yang dihuni seorang istrinya di Alia, bagian luar kota Madinah sebelah timur. Di bilik-bilik rumah sederhana itu, Nabi menunjukkan perannya sebagai suami/kepala keluarga melalui pola hidup yang amat sederhana. Namun kesederhanaan yang diterapkan Nabi bukanlah karena ketidakberdayaan dalam menghadapi tuntutan hidup, melainkan karena dijiwai landasan iman dan takwa. Sikap qonaah-nya membuat beliau memilih menjalani hidup seperti itu. Nabi bukanlah orang yang tertarik membangun kebahagiaan rumahtangga melalui kemewahan duniawi. Baginya, kebahagiaan yang dilandasi materi merupakan kebahagiaan yang rapuh seperti buih-buih air di tengah lautan bahkan menyiksa karena hati diperbudak oleh dunia. Jika mau, akses Rasul untuk hidup mewah bersama para istri dan anak-anaknya sangat terbuka mengingat tingginya kedudukan beliau di masyarakat, disegani semua kalangan, serta dihormati para pemimpin. Kalau pun Nabi dan keluarganya memiliki hak atas suatu harta, baik berupa hadiah, tanah Fadak, harta rampasan perang (ghanimah), tetapi beliau menerima sekadarnya. Sekedar memenuhi kebutuhan pokok keluarga. Bahkan seringkali beliau tidak mengambil haknya mengingat adanya kepentingan ummat yang mesti diutamakan. Nabi juga tidak menerima zakat dan sedekah. Beliau berusaha memberi nafkah kepada anak-istri beliau, baik nafkah lahir maupun batin. Untuk memenuhi kebutuhan makan, misalnya, sebenarnya Rasul lebih memilih hasil dari jerih payahnya kendati tidak seberapa. Dengan tangannya yang mulia, Nabi memerah susu kambing serta mengerjakan sesuatu yang bernilai ekonomi secara halal dan baik. Kesederhanaan beliau tercermin pula dari pakaian yang dikenakan. Nabi kerap menjahit pakaiannya sendiri dan memperbaiki sepatunya. Tempat tidurnya, bukanlah kasur empuk, melainkan kasar atau tilam. Suatu ketika, Umar bin Khatab mendapati Nabi yang tengah menyendiri di sebuah bilik sederhana. Umar yang dikenal gagah dan berkarakter tegas itu, ternyata hatinya terharu, tak tega menyaksikan pemimpin besar umat Islam tersebut tinggal di tempat sempit dan amat se­derhana itu selama hampir sebulan. Tak terasa, air matanya pun menetes membasasi pipisnya. Nabi bertanya, "Hai Umar, meng­apa engkau menangis?" "Engkau tidur ber­hamparkan tikar ini sampai membekas pada lambungmu. Di tempat ini juga tidak berisikan apa-apa selain sedikit gandum dan sebuah labu yang tergantung," jawab Umar. Kendati demikian, Nabi tidak menghendaki pengikutnya berpantang dari segala nikmat atau karunia duniawi (asketisme). Sabdanya, "Sungguh menyenangkan kekayaan itu, jika didapat dengan cara yang halal dan oleh orang yang tahu cara membelanjakannya." Masih menurut beliau, "Kekayaan merupakan bantuan yang baik bagi ketakwaan." Kuatnya pijakan keimanan dan akhlak, serta dalamnya makna cinta dan rasa tanggung-jawab yang diterapkan Nabi, membuat fondasi kehidupan rumahtangga beliau berdiri kokoh. Para penghuninya merasakan kebahagiaan yang hakiki dan sarat keteladanan meskipun sebelumnya, kehidupan rumahtangga sempat diwarnai kekisruhan dan konflik akibat sikap dan perilaku sejumlah istrinya dan fitnah dari luar. Rasulullah meneladankan pentingnya menerapkan kemuliaan akhlak yang dibangun di atas dasar keimanan. Dengan landasan ini, terbukti, segala persoalan yang muncul di dalam kehidupan berumahtangga dapat diatasi dengan baik. Ditulis oleh admin JDS FARAH ILYANA 1B2

No comments:

Post a Comment